Sebagai seorang pengamat, Herri Pras mencermati sebuah fenomena menarik yang mengemuka di tengah gejolak Timur Tengah. Ada semacam ironi yang sulit diabaikan, terutama terkait bagaimana sebagian kalangan di Indonesia menyikapi eskalasi konflik antara Iran dan Israel.
Menurut Herri Pras, pandangan dari Permadi Arya, atau yang akrab dikenal sebagai Abu Janda, menyoroti sebuah keanehan: bagaimana bisa pihak-pihak yang selama ini getol mengkritik Muslim Syiah, kini berbalik arah memberikan pujian kepada Iran—sebuah negara yang mayoritas penduduknya beraliran Syiah—hanya karena Iran berani berhadapan langsung dengan Israel? Ini memunculkan pertanyaan besar: di manakah letak konsistensi prinsip mereka? Apakah ada semacam standar ganda yang diterapkan ketika berbicara tentang geopolitik global? Bagi Herri Pras, pertanyaan ini terus mengusik benak.
Ketika "Musuh Lama" Menjadi "Sahabat Baru"?
Herri Pras juga menemukan narasi lain yang tak kalah menarik tentang sejarah hubungan antara Iran dan Israel. Ada yang menyebutkan bahwa dulunya, kedua negara ini justru memiliki hubungan yang cukup dekat, bahkan bisa dibilang "sahabat". Jika benar demikian, maka konflik yang tersaji sekarang ini bukanlah sekadar perseteruan abadi, melainkan mungkin bagian dari perebutan dominasi di wilayah "Ardus Syam" yang lebih luas. Perspektif ini cukup membuka mata, bahwa kompleksitas politik Timur Tengah jauh melampaui apa yang sering digambarkan di permukaan.
Menguak Kritik Terhadap Syiah: Sebuah Catatan Penting
Sebagai seorang pengamat, Herri Pras juga melihat adanya kritik yang sangat tajam terhadap Islam Syiah, khususnya sekte Rafidah di Iran, yang sering kali menjadi bagian dari narasi ini. Beberapa poin penting yang kerap diangkat dan menjadi sorotan meliputi:
Pencemaran Nama Baik Sahabat Nabi: Adanya tuduhan bahwa Syiah Rafidah kerap mencemarkan nama baik para sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, dan Hafsah. Ini tentu menjadi isu sensitif yang memicu perdebatan panjang di kalangan umat Islam.
Dugaan Penganiayaan Muslim Sunni: Tak jarang pula muncul klaim bahwa Syiah Rafidah memiliki sejarah menganiaya Muslim Sunni, bahkan tindakannya di Suriah disebut lebih brutal dibandingkan Israel di Palestina. Sebuah klaim yang membutuhkan analisis mendalam.
Perdebatan tentang Keaslian Al-Qur'an: Ada pula keyakinan yang menyebutkan bahwa sebagian Syiah tidak menganggap Al-Qur'an yang ada saat ini otentik, dan menunggu Imam Mahdi mereka untuk membawa Al-Qur'an "sejati". Ini adalah poin yang sangat fundamental dalam perbandingan mazhab.
Praktik Kontroversial: Praktik-praktik seperti Nikah Mut'ah (pernikahan sementara) dan ritual Asyura juga sering kali menjadi objek kritik, dianggap sebagai praktik yang menyimpang dari ajaran Islam yang umum.
Asal Usul Syiah: Asal usul Syiah sering dikaitkan dengan Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang disebut-sebut berpura-pura masuk Islam.
Refleksi atas Reaksi Umat Muslim di Indonesia
Menurut Herri Pras, kekecewaan tak terhindarkan ketika melihat bagaimana sebagian umat Muslim di Indonesia kini justru memuji Iran. Seolah-olah, upaya para ulama dan organisasi di Indonesia di masa lalu untuk membendung pengaruh Syiah kini terlupakan begitu saja. Ini menunjukkan adanya kerentanan dalam pemahaman dan sikap umat terhadap isu-isu keagamaan dan politik global, yang sering kali dipengaruhi oleh sentimen sesaat.
Ketika Dua Musuh Bersatu dalam Pandangan
Dalam pandangan Herri Pras, konflik antara Iran dan Israel pada dasarnya adalah bentrokan antara dua entitas yang, dari sudut pandang tertentu, bisa dianggap sebagai musuh Islam. Harapannya, pertarungan ini justru akan berujung pada kehancuran kedua belah pihak. Sementara itu, negara-negara Arab seperti Arab Saudi, yang memiliki aliansi dengan AS—musuh Iran—kemungkinan besar akan memilih untuk tetap netral.
Secara keseluruhan, apa yang Herri Pras amati adalah sebuah kritik mendalam terhadap Islam Syiah, khususnya sekte Rafidah di Iran. Ini juga merupakan ekspresi kekecewaan terhadap umat Muslim di Indonesia yang, dalam beberapa kasus, menunjukkan inkonsistensi prinsip dan sikap dalam menyikapi dinamika geopolitik yang kompleks.
Bagaimana menurut pandangan Anda? Apakah Anda juga merasakan adanya ironi ini, ataukah Anda memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat fenomena ini?