Pages


  • Qur'an Reader | Al Qur'an dan Terjemahannya

View All results for ""

ElGhodhonfarElGhodhonfar Blog

  • Home
  • Articles by "Sejarah"
    Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
    Highlight Sejarah

    Nyala Semangat Diponegoro: Kisah Kepahlawanan dan Semangat Juang Melawan Penindasan

    at April 20, 2024 0

    Perang Jawa (Perang Diponegoro): Kisah Lengkap Perlawanan Pangeran Diponegoro Melawan Penjajah Belanda



    Perang Jawa, yang juga dikenal sebagai Perang Diponegoro, merupakan salah satu perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah Indonesia. Perang ini berlangsung selama lima tahun, dari tahun 1825 hingga 1830, dan melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock melawan pasukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.


    Latar Belakang yang Memicu Perang

    Perang Jawa dipicu oleh berbagai faktor yang kompleks, di antaranya:

    • Kebijakan Belanda yang menindas: Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang mewajibkan rakyat Jawa menanam tanaman tertentu untuk kepentingan Belanda, dan pembatasan hak-hak tradisional rakyat Jawa.
    • Campur tangan Belanda dalam urusan internal kerajaan: Belanda menunjuk Pangeran Diponegoro sebagai Sultan Yogyakarta yang tidak sah, dan ingin melemahkan kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa.
    • Keinginan untuk menegakkan kembali agama Islam dan budaya Jawa: Belanda dianggap mengancam nilai-nilai agama dan budaya Jawa dengan berbagai kebijakannya.


    Kronologi Perang yang Berlangsung Sengit

    Perang Jawa dimulai pada tanggal 20 Juli 1825, ketika Pangeran Diponegoro mendeklarasikan perang terhadap Belanda di Tegalrejo, Yogyakarta. Perang ini kemudian menyebar ke seluruh Jawa, dengan fokus utama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

    Perang ini berlangsung dengan sengit dan melibatkan banyak korban jiwa di kedua pihak. Pasukan Jawa, yang terdiri dari rakyat biasa, ulama, dan bangsawan, menggunakan berbagai taktik gerilya untuk melawan pasukan Belanda yang lebih modern dan terlatih.


    Belanda menggunakan berbagai cara untuk memadamkan pemberontakan, termasuk:

    1. Strategi benteng stelsel: membangun benteng-benteng di daerah-daerah strategis untuk mengendalikan wilayah dan membatasi pergerakan pasukan Jawa.
    2. Adu domba: memanipulasi kelompok-kelompok masyarakat Jawa untuk saling menyerang.
    3. Balas dendam: menyerang desa-desa dan membantai rakyat Jawa sebagai hukuman atas perlawanan.


    Peran Penting Pangeran Diponegoro sebagai Pemimpin Perlawanan

    Pangeran Diponegoro merupakan pemimpin yang karismatik dan inspiratif bagi rakyat Jawa. Beliau memiliki kemampuan militer yang handal dan strategi perang yang cemerlang. Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pemimpin yang adil dan religius, dan beliau selalu menekankan pentingnya persatuan dan semangat juang untuk melawan penjajah.


    Akhir Perang dan Dampak yang Berkelanjutan

    Perang Jawa berakhir pada tahun 1830 dengan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda. Pangeran Diponegoro kemudian diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara, di mana beliau meninggal dunia pada tahun 1855.


    Meskipun Perang Jawa berakhir dengan kekalahan pasukan Jawa, perang ini memiliki dampak yang signifikan bagi Indonesia, di antaranya:

    1. Meninggalnya ratusan ribu rakyat Jawa, baik karena pertempuran maupun karena kelaparan dan penyakit.
    2. Memperkuat kekuasaan Belanda di Jawa, meskipun Belanda masih harus menghadapi pemberontakan-pemberontakan lain di kemudian hari.
    3. Menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, yang kemudian menjadi salah satu faktor pendorong kemerdekaan Indonesia.

    Perang Jawa: Warisan Sejarah yang Penting

    Perang Jawa merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Perang ini menunjukkan keberanian dan kegigihan rakyat Jawa dalam melawan penjajah. Perang ini juga menjadi bukti bahwa semangat nasionalisme dan keinginan untuk merdeka sudah ada sejak lama di kalangan rakyat Indonesia.


    Mempelajari sejarah Perang Jawa:

    1. Penting untuk memahami akar penjajahan Belanda di Indonesia.
    2. Menunjukkan kegigihan dan semangat juang rakyat Indonesia dalam melawan penindasan.
    3. Menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air.
    4. Mengenang jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk kemerdekaan Indonesia.


    Referensi:

    • https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro
    • https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro
    • https://www.detik.com/tag/pangeran-diponegoro
    • https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro
    • https://kumparan.com/berita-update/perang-diponegoro-latar-belakang-tokoh-dan-dampak-bagi-pemerintahan-belanda-1wQuu6YhJrf

    Continue reading
    Sejarah

    Gaji Ulama di Masa Daulah 'Abbaasiyyah

    at Oktober 21, 2022 0



    Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 

    Di masa puncak kejayaan kekhalifahan Abasiyah gaji para pengajar dan ulama saat itu benar-benar sangat fantastis.

    وأما رواتب المعلمين فكانت رواتب المؤذنين ألف دينار في السنة

    Gaji para pengajar di masa itu sama dengan gaji para mu'adzin yakni 1000 dinar pertahun (3,9 M, berarti perbulan 325 juta ) 

    والمشتغلين بجمع القرآن والعاملين على التعليم والمقبلين على طلب العلم ألفين دينار بالسنة

    Sedangkan para ulama yang sibuk dengan al Qur'an, mengajar ilmu al Qur'an dan juga mengurusi para penuntut ilmu gajinya 2.000 dinar (7,8 M, berarti perbulan 650 juta)

     والمشتغلين بجمع القرآن ورواة الحديث والفقهاء 4 آلاف دينار بالسنة

    Sedangkan ulama dengan kemampuan khusus yang mengurusi ilmu-ilmu al Qur'an, mengumpulkan riwayat hadits dan juga ahli dalam fiqih memperoleh gaji 4.000 dinar pertahun ( 15.6 M, berarti gaji perbulan 1,3 M)

    Selain gaji umum, tercatat ada beberapa ulama yang diberi gaji khusus oleh negara karena jasanya yang dianggap besar, semisal di masa Khalifah al Watsiq, ia memberi gaji seorang ulama yang bernama al Jari awalnya 100 dinar perbulan (390 juta), lalu ia menaikannya menjadi 500 Dinar !

    Di masa Harun ar Rasyid lebih "kacau" lagi, pernah diberlakukan aturan untuk kitab -kitab karya ulama bayarannya adalah dengan ditimbang dengan emas ! 

    Inilah diantara rahasia mengapa ilmu dan peradaban umat Islam berjaya di masa itu, karena para guru dan ulama diposisikan sebagai pahlawan dengan tanda jasa sepenuhnya !

    Sumber

    Continue reading
    Sejarah

    Pengusiran Yahudi Bani Qainuqa

    at Oktober 21, 2022 0

    image by orbitmetro

    Perang Bani Qainuqa adalah perperangan yang terjadi antara Kaum Muslimin dengan Kaum Yahudi Bani Qainuqa. 

    Perperangan ini terjadi pada hari Sabtu, pertengahan bulan Syawal pada tahun ke-2 H, tepatnya satu bulan lebih tiga hari setelah terjadinya perang Badar.

    Perang ini dipicu oleh pelecehan dan penistaan seorang muslimah yang dilakukan Yahudi Bani Qainuqa.

    Bani Qainuqa adalah salah satu dari tiga suku Yahudi yang tinggal di bagian baratdaya kota Yatsrib (Madinah). 

    Suatu hari, seorang muslimah datang dengan membawa barang dagangannya untuk dijual di pasar Bani Qaynuqa. Kemudian dia duduk di dekat tukang emas atau perak. Yahudi Bani Qaynuqa mendekati wanita itu dan dengan lancang mereka ingin membuka cadarnya, namun dia menolak.

    Lalu tukang emas itu dengan sengaja mengikatkan ujung pakaian wanita tersebut ke punggungnya, sehingga ketika wanita itu berdiri, maka terbukalah auratnya dan tersungkur.

    Melihat pelecehan tersebut, para Yahudi itu tertawa, dan wanita muslimah ini menjerit minta tolong.

    Seorang laki-laki muslim yang ada di situ kemudian melompat menyerang tukang emas Yahudi itu, dan membunuhnya. 

    Kaum Yahudi yang ada di tempat itu lalu mengeroyok laki-laki muslim tersebut dan membunuhnya.

    Setelah itu, keluarga dari laki-laki muslim itu berteriak memanggil saudara-saudaranya sesama muslim, seraya mengadukan kebiadaban Yahudi tersebut. Kaum muslimin pun geram sehingga terjadilah pertengkaran antara mereka dengan Bani Qaynuqa.

    Konflik yang disulut oleh Bani Qaynuqa telah memaksa Rasulullah SAW berangkat memerangi mereka. Rasul menyerahkan bendera perang yang berwarna putih pada pamannya, Hamzah. Sementara urusan Madinah untuk sementara waktu diserahkan kepada Abu Lubabah al-Anshari.

    Bani Qaynuqa tinggal di pinggiran Madinah bersama 700 pejuang, dan mereka memiliki 300 baju zirah. Mereka bukanlah petani atau pekebun. Pekerjaan mereka adalah berdagang atau tukang emas atau perak. 

    Setelah itu Rasulullah mengepung perkampungan Bani Qaynuqa selama lima belas hari, sampai masuk bulan Dzul Qa’dah.

    Bani Qainuqa yang pongah dan sombong ini akhirnya bertekuk lutut dan menyerah setelah dikepung selama 15 hari. Allah Subhanahu Wata’ala memasukkan rasa gentar dan takut ke dalam hati orang-orang Yahudi itu.

    Mereka kemudian meyerah dan Rasulullah membelenggu mereka untuk dijatuhi dihukum mati, akan tetapi Abdullah bin Ubay bin Salul, gembong munafik, meminta kepada Rasulullah agar meringankan hukuman mereka.

    Dan akhirnya Rasulullaah bermurah hati dan memerintahkan Bani Qainuqa ini untuk pergi sejauh-jauhnya dan tak boleh lagi tinggal di Madinah.

    Rasulullah memberi tenggang waktu selama tiga hari untuk mereka pergi. Selanjutnya, Yahudi Bani Qaynuqa pergi menuju Adzri’aat di Syam.

    Harta ghanimah dari Bani Qaynuqa kemudian dibagi. Rasulullah mengambil seperlimanya, dan yang empat perlima dibagi untuk para sahabat. Setelah itu, Rasulullah kembali ke Madinah dan bertepatan dengan Hari Raya Kurban. Beliau kemudian hadir dan mengimami salat Idul Adha, dan mengorbankan dua ekor domba.

    (PortalIslam.id)

    Continue reading
    Sejarah

    Sang Algojo: Adolfo Roberto

    at Oktober 19, 2022 0

    Image by Detikcom

     

    Kisahnya di negeri Andalusia Sepanyol ada seorang Jendral Adolfo Roberto, dia pemimpin penjara yg terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

    Setiap sipir penjara membungkukkan badannya serendah mungkin ketika 'Algojo Penjara' itu berlalu di hadapan mereka.

    Karena kalau tidak, sepatu 'Jungle' milik tuan Roberto itu akan mendarat di wajah mereka.

    Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar suara seseorang membaca Ayat2 Suci Alqur'an yang amat ia benci. 

    "Hai ... hentikan suara jelekmu ! Hentikan ...!!!" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakkan mata.

    Namun apa yang terjadi ?

    Lelaki di kamar tahanan tadi tetap saja membaca & bersenandung dengan khusyu'nya

    Roberto bertambah berang.

    Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yg sempit.

    Dgn congak ia meludahi wajah renta sang tahanan yg keriput hanya tinggal tulang.

    Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dgn rokoknya yg menyala.

    Sungguh ajaib ...! tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. 

    Bibir yg pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata kepatuhan kepada sang Algojo. 

    Bibir keringnya hanya berkata lirih, _"Robbi, wa-ana 'abduka ..."

    Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, 

    "Bersabarlah wahai ustadz ... Insya Allah tempatmu di Syurga."

    Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya.

    Ia perintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai. 

    "Hai orang tua busuk...!!

    Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu ?!

    Aku tidak suka apapun yang berhubungan dengan agamamu....!!!"

    Sang Ustadz lalu berucap, "Sungguh ... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah SWT.

    Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemui-Nya.

    Maka patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk ?

    Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk orang2 yg zhalim".

    Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya.

    Laki-laki itu terhuyung-huyung.

    Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah.

    Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'Buku Kecil'. 

    Adolfo Roberto bermaksud memungutnya. 

    Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

    "Berikan buku itu, hai laki-laki dungu !", bentak Roberto.

    "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini !", ucap sang ustadz dgn tatapan menghina pada Roberto.

    Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. 

    Sepatu laras berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. 

    Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati.

    Namun tidak demikian bagi Roberto. 

    Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. 

    Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

    Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. 

    Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh

    Mendadak algojo itu termenung dan berkata dalam hatinya :

    "Ah ... sepertinya aku pernah mengenal buku ini.

    Tapi kapan ??

    Ya, aku pernah mengenal buku ini." suara hati Roberto bertanya-tanya.

    Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu.

    Jenderal berumur 30 tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. 

    Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. 

    Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.

    Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang sakarat melepas nafas-nafas terakhirnya. 

    Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam.

    Mata Roberto rapat terpejam.

    Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang di alaminya sewaktu masih kanak-kanak dulu.

    Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.

    Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. 

    Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). 

    Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa.

    Beribu-ribu jiwa kaum muslimin yg tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. 

    Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. 

    Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.

    Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

    Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. 

    Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua.

    Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. 

    Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang Ummi (ibu) yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti abaya hitamnya.

    Sang bocah berkata dengan suara parau,

    "Ummi.. ummi.. mari kita pulang. Hari sudah malam.

    Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa ....?

    Ummi, cepat pulang ke rumah ummi ..."

    Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. 

    Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. 

    Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.

    Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, _"Abi ... Abi ... Abi ..."

    Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

    "Hai ... siapa kamu?!"_ teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah.

    "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi ..." jawab sang bocah memohon belas kasih. 

    "Hah ... siapa namamu bocah ??

    Coba ulangi !!!"

    bentak salah seorang dari mereka

    "Saya Ahmad Izzah ..."_ sang bocah kembali menjawab dengan rasa takut. 

    Tiba-tiba "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah. 

    "Hai bocah ...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek.

    Aku benci namamu.

    Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus.

    Namamu sekarang 'Adolfo Roberto' ...

    Awas !

    Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!"_ ancam laki-laki itu.

    Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata.

    Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar dari lapangan Inkuisisi. 

    Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

    Roberto sadar dari renungannya yang panjang. 

    Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. 

    Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. 

    Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. 

    Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi... Abi ... Abi ..!!."

    Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.

    Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. 

    Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. 

    Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bagian pusarnya.

    Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah.

    Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. 

    Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, 

    "Abi ... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa ..."

    Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.

    Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. 

    Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat orang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya. 

    "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu ..."

    Terdengar suara Roberto memelas.

    Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. 

    Air matanya pun turut berlinang. 

    Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. 

    Sungguh tak masuk akal. 

    Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

    Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap.

    "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy.

    Belajarlah engkau di negeri itu".

    Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Dua Kalimah Syahadat..!

    Beliau pergi menemui Robbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini

    Beberapa tahun kemudian.....

    Ahmad Izzah telah menjadi seorang Ulama Besar di Mesir. 

    Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agama Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya.

    Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru kepadanya ... Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

    Sang Ulama berpesan kepada Seluruh Umat Islam se dunia:

    Jangan engkau pilih Pemimpin yang menzhalimi para Ulama dan Jangan kau pilih pemimpin yang suka berdusta.

    Firman Allah Ta'ala:

    "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

    (QS. 30:30).

    Catatan : 

    Semoga Kisah Nyata ini menjadi Iktibar bagi kita, untuk berfikir, bersikap, bertindak, dan berpihak kepada Kebenaran yang Hakiki. Karena harta, pekerjaan, pengaruh, pangkat, jabatan, dan kesenangan hidup di dunia ini, hanya sesaat


    Medio Ramadhan Mubarak

    Continue reading
    Highlight Sejarah

    Sejarah Telur Mata Sapi

    at Oktober 19, 2022 0


    image by Kompas


     Agus Sunyoto mencatat adanya peristiwa yang luput dari catatan sejarah, yaitu peristiwa hijrahnya para pengikut Pangeran Diponegoro setelah Diponegoro ditangkap Belanda.


    ''Ratusan ribu pengikut Diponegoro, sebagian besar adalah ulama pesantren dan guru tarekat, meninggalkan pusat kekuasaan kemudian menyebar di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa,'' ujar Agus, dari Padepokan Dakwah Kalijaga.


    Mereka kemudian mendirikan pesantren-pesantren dan meneruskan perlawanan secara pasif kepada Belanda. Perlawanan yang disebut Sunyoto sebagai perlawanan pasif yang masif itu dilakukan dengan cara perang opini lewat penciptaan cerita tutur, tembang, si'iran, tafsir agama, ramalan, dan sebagainya. Perang opini ini ditujukan untuk memunculkan sikap benci terhadap Belanda.


    Makin menguatnya perlawanan lewat lisan ini mendorong Belanda mengutus jaksa di Kediri untuk menyusun sejarah Kediri. Tugas itu diberikan dua tahun setelah Diponegoro ditangkap. Jaksa Mas Ngabehi Poerbawidjaja lantas meminta bantuan dalang wayang krucil Ki Dhermakonda.


    Namun. Ki Dhermakonda mengaku tak mengetahui secara pasti sejarah Kediri sehingga ia meminta bantuan jin bernama Buto Locaya. Untuk mendengarkan cerita Buto Locaya, diperlukan tubuh yang bisa dirasuki, yaitu tubuh Ki Sondong. Jadilah Babad Kediri.


    ''Maka isi sejarah versi jin itu adalah pendiskreditan terhadap ajaran Islam, terutama menyangkut para penyebar Islam,'' ujar Agus.


    Tokoh Islam yang didiskreditkan adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Dua wali ini digambarkan berdakwah dengan jalan intoleransi. Penginjil Ki Tunggul Wulung lantas mengadaptasi Babad Kediri dalam bukunya, Serat Darmogandul. Tunggul Wulung yang berguru pada Jellesma, di kemudian hari menjadi guru Kiai Sadrach.


    Inilah sastra dekaden yang memunculkan konflik sosial. Setelah Darmogandul kemudian muncul Serat Gatoloco. Gatoloco dipakai untuk menyerang ulama pengikut Diponegoro. Tunggul Wulung menampilkan debat fiktif antara Gatoloco dan Kiai Kasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Kiai Kasan Besari ditampilkan sebagai sosok yang tak berkutik dalam debat tentang Islam itu.


    Selaku santri Kiai Kasan Besari, RNg Ronggowarsito tahu bagaimana Darmogandul dan Gatoloco dibuat. Karena itu, ia mendatangi Tunggul Wulung dan meminta kepadanya agar mau menerima dirinya sebagai muridnya. Namun, Tunggul Wulung menolaknya.


    Usaha mendegradasi nilai-nilai Islam oleh Belanda tak berhenti di situ. Serat Syekh Siti Jenar juga dibuat untuk memecah umat Islam. Di serat itu dikisahkan Syekh Siti Jenar dibunuh oleh Sunan Kalijaga.


    ''Padahal, dalam tradisi lisan di kalangan pengikut Syekh Siti Jenar yang diwariskan turun-temurun dalam tarikat Akmaliyah, tokoh Syekh Siti Jenar dikisahkan tidak dibunuh oleh Wali Songo, melainkan wafat dengan cara selayaknya orang meninggal,'' jelas Agus.

    Sebagian ahli sejarah menilai isi dari Babad Kediri merupakan tindakan pendiskreditan terhadap ajaran Islam. Terutama, ungkap Agus, menyangkut para penyebar Islam seperti Sunan Giri dan Sunan Bonang. Di babad ini, kedua sunan tersebut digambarkan telah melakukan tindakan-tindakan intoleran dan merusak tatanan dalam berdakwah menyebarkan Islam.


    Selain Babad Kediri, adapula sebuah karya sastra yang diberi judul Serat Darmogandul yang berbahasa Jawa. Pada sastra ini, penulis karya ini telah menampilkan  kata dan kalimat sarkastis dan bernuansa porno dengan memasukkan istilah-istilah Belanda.


    Agus juga mencurigai munculnya catatan tentang penemuan kronik Cina di Kelenteng Sam Po Kong, Semarang, sebagai upaya pengaburan sejarah Islam.

    Kronik yang ditemukan—dinyatakan ada tiga cikar—menyebut para wali berasal dari Cina, yang ditugasi untuk menjatuhkan Majapahit. Kronik yang dinyatakan dibawa Residen Poortman itu dianggap Agus sebagai cerita fiktif.

    ''Tidak pernah ada fakta materialnya kecuali pernyataan bohong bahwa naskah kronik itu disimpan di museum di Den Haag,'' ujar Agus.


    Menurut Agus, Serat Syekh Siti Jenar juga merupakan hasil karya yang diperintahkan Belanda untuk memperburuk citra Islam. Karya dari Raden Panji Natarata ini memunculkan isi cerita dan pandangan negatif terhadap para Wali Songo.


    Di karya itu, Wali Songo digambarkan sebagai penyebar Islam yang licik dan curang karena telah membunuh Syekh Siti Jenar. Bahkan, Wali Songo dijelaskan telah mengganti jenazah Jenar secara sengaja dengan bangkai anjing.


    Dalam tradisi lisan, tokoh Syekh Siti Jenar dikisahkan tidak dibunuh oleh Wali Songo. Ia wafat dengan cara selayaknya seperti masyarakat Muslim pada umumnya.


    Naskah berbahasa Sunda ada pula yang merupakan hasil manipulasi. Agus menyebut nakah Kidung Sunda yang dimunculkan pada 1860 sebagai karya sastra yang sengaja dibuat untuk memecah-belah bangsa Indonesia. Kidung Sunda yang mendiskreditkan Gajah Mada mendapat dukungan dari naskah Pararaton, yang diterbitkan Belanda pada 1920.


    ''Di balik Pararaton, kolonial Belanda ingin membangun citra buruk bahwa leluhur raja-raja Jawa, termasuk leluhur Diponegoro, adalah anak haram hasil zina, penjudi, pencuri, pemerkosa, penjahat licik, yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa,'' ujar Agus.


    Agus menilai banyaknya karya kolonial Belanda yang telah merugikan umat Islam Indonesia ditujukan untuk mendiskreditkan tokoh-tokoh penyebar Islam. Tujuannya hanya satu, yakni memecah-belah umat Islam sehingga menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan.


    Belanda, kata Agus, membantah lewat opini mengenai penyebab krisis bahasa dan sastra Jawa akibat kehancuran tradisi sastra kuno yang disebabkan jatuhnya Majapahit. Kejatuhan Majapahit pun diklaim akibat datangnya islam. ''Dengan kata lain, Islam dijadikan kambing hitam dalam krisis bahasa dan Jawa di masa itu,''ujar Agus.


    Agus mengatakan, kemerdekaan yang diperoleh Indonesia tidak terlepas dari peran Muslim. Begitu banyak raja-raja Muslim yang telah didukung oleh guru tarekat dan ulama dari pesantren. Mereka bersatu untuk melakukan  perlawanan terhadap penjajah, baik Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, maupun Jepang.


    Mereka dengan tegas menyebut para penjajah sebagai "orang kafir" yang tidak pantas menginjakkan kakinya di tanah nusantara. Terutama, lanjutnya, bagi mereka yang memiliki misi untuk memurtadkan rakyat Indonesia yang beragama Islam.


    Masyarakat Jawa pada umumnya memang menolak tegas penjajahan yang dilakukan Belanda. Mereka tidak menyukai Belanda bukan hanya karena tindakan yang mereka lakukan. Menurut Agus, ada struktur sosial atau konsep hidup yang membuat mereka tidak menyukai kehadiran orang asing, seperti Belanda.


    Agus menyebutkan, ada tujuh lapisan yang dipegang oleh masyarakat Jawa. Strata ini bukan kasta. Lapisan masyarakat ini dilihat dari kuat atau tidaknya seseorang terhadap pengaruh dunia. Sehingga, struktur sosial ini dianggap menjadi penilaian utama atas ketepatan dalam memilih dan memercayai seorang pemimpin di suatu wilayah.


    Lapisan pertama dipegang oleh kaum yang memiliki nafsu atau pengaruh dunia yang lemah. Misalnya, ulama, wali, atau kaum Brahmana. "Lapisan kedua dimiliki oleh kaum yang tidak terlalu mencintai dunia dan hidupnya dijamin oleh negara, seperti para ksatria dan pertapa," jelas Agus.


    Lapisan selanjutnya dimiliki oleh kaum waisya, seperti petani. Setelah itu, kaum saudagar memegang lapisan selanjutnya. Dalam lapisan ini semisal saudagar, rentenir, kaum konglomerat, dan tuan tanah.


    Untuk lapisan kelima dimiliki oleh kaum yang hidup dari membunuh binatang, seperti jagal, pemburu, dan algojo. Lapisan keenam dipegang oleh orang asing seperti Belanda. Lapisan terakhir dimiliki oleh orang-orang yang hidupnya hanya merugikan masyarakat, seperti perampok, pembegal, pencuri, dan lainnya.


    Maka, alasan masyarakat Jawa menolak penguasaan Belanda menjadi jelas. Dalam struktur sosial, para penjajah itu itu tidak bisa menjadi pemimpin atau penguasa di tempat mereka. ''Menurut mereka, penjajah itu tidak pantas menjadi juragan tetapi harus menjadi pelayan di tanah mereka,'' ujar Agus.


    Dengan struktur sosial semacam itu, maka agus meragukan penyebaran Islam di nusantara dilakukan oleh para saudagar. Dengan posisinya di lapisan keempat, saudagar akan mengalami kesulitan menyebarkan agama di dalam struktur sosial masyarakat Jawa ini. "Mereka pasti tak akan dianggap," ujar Agus.


    Dengan pemahaman ini, Agus menduga, sejarah yang menyebut para saudagar sebagai penyebar Islam di nusantara adalah bagian dari upaya pengaburan sejarah Islam di Indonesia. Menurut Agus, akan lebih masuk akal jika sejarah menyebut penyebaran Islam dilakukan oleh para kaum kelas brahmana, yaitu para wali yang selama ini dikenal dengan sebutan Wali Songo.


    Dengan posisi wali yang berada di lapisan pertama, jelas akan mudah bagi mereka untuk menjadi panutan masyarakat di masa itu. Posisi itu memudahkan mereka mengajarkan ajaran Islam di bumi pertiwi ini, terutama di Pulau Jawa.


    Kalau sekarang, apakah Indonesia menggunakan sistem ini? Sekarang asing dipuja-puja di sini. ''Sepengetahuan saya, hanya Brunei Darussalamlah yang saat ini menerapkan sistem lapisan masyarakat Jawa itu," ungkap Agus.


    Menurut Agus, munculnya perlawanan pasif lewat lisan yang dilakukan para pengikut Diponegoro setelah Perang Jawa semata karena adanya struktur sosial ini. Mereka melawan dengan memunculkan fenomena pertempuran baru dengan menggunakan opini.


    Sejarah Islam Indonesia, kata Ahmad Mansur Suryanegara, adalah sejarah telur mata sapi. ''Ayam yang bertelur, tetapi sapi yang punya nama,'' ujar sejarawan Universitas Padjadjaran itu. 


    Mansur menegaskan, tak bisa dibantah bahwa pelaku sejarah Islam di Indonesia adalah para ulama atau umat Islam. Namun, yang ditulis adalah mereka yang menentang ajaran Islam.


    Mansur merasakan betapa ''Sumpah Syahadah'' yang menjadi landasan melawan kolonialis-imperalis tidak dinilai sebagai perekat dan pembangkit kesatuan-persatuan bangsa Indonesia. Sumpah Syahadah kalah dengan Sumpah Palapa.


    Padahal, dalam wayang, pemegang kalimasada adalah Pandawa. ''Yang diletakkan di sebelah kanan dalang dan selalu sebagai pemegang kemenangan, mengalahkan Kurawa yang diposisikan di sebelah kiri dalang,'' ujar Mansur.

    by https://m.republika.co.id/berita/nq6jg735/sejarah-islam-indonesia-sejarah-telur-mata-sapi

    Continue reading
    Langganan: Postingan (Atom)
    Recent Popular Comments

    Recent Posts

    Popular Posts

    • Perang Global, Radikalisme, dan Intelijen: Perspektif Hendropriyono dan Mahfud MD
        sumber: kilat.com Dalam sebuah diskusi yang mencerahkan, dua tokoh besar Indonesia, Bapak AM Hendropriyono dan Bapak Mahfud MD , berbagi ...
    • Ironi di Balik Gejolak Timur Tengah
      Sebagai seorang pengamat, Herri Pras mencermati sebuah fenomena menarik yang mengemuka di tengah gejolak Timur Tengah. Ada semacam ironi ya...
    • 7 Rekor Dunia yang Pasti Akan Mengejutkanmu
      Rekor dunia sering kali menjadi topik yang menarik perhatian banyak orang. Dari prestasi luar biasa hingga hal-hal yang tampaknya tidak mung...
    • Kunjungan Darurat Menlu Iran ke Moskow Usai Serangan AS: Membahas Gejolak Timur Tengah
        MOSKOW, Rusia – Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, tiba di Moskow pada Minggu (22/06/2025) untuk serangkaian negosiasi penting den...
    • Perang Dunia I: Penyebab dan Dampaknya
      Perang Dunia I, yang berlangsung dari tahun 1914 hingga 1918, adalah salah satu konflik paling monumental dalam sejarah manusia. Perang ini ...
    • Rahasia Masa Subur: Kapan Ovulasi Terjadi & Tips Jitu Meningkatkan Peluang Hamil
        Menjelajahi Misteri Masa Subur: Kapan Ovulasi Terjadi dan Bagaimana Meningkatkan Peluang Kehamilan? Bagi pasangan yang mendambakan buah ha...

    Kolom Kesehatan

    Fakta Menarik

    
    Nama

    your name

    Email *

    Your Email

    Pesan *

    your message

    Recent Posts

    Random Post

    Rekomendasi Belanjamu

    Kritik dan Saran

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Total Tayangan Halaman

    Copyright © 2024 ElGhodhonfar All Rights Reserved.
    Designed by Designer
    Back To Top